Oleh: Saiful Hadi Sering kali kita terpaku pada anggapan bahwa orang-orang yang sukses dan besar di mata dunia berasal dari kalangan yang be...
Oleh: Saiful Hadi
Sering kali kita terpaku pada anggapan bahwa orang-orang yang sukses dan besar di mata dunia berasal dari kalangan yang berpunya dan berada. Padahal, jika kita menelusuri jejak sejarah, akan kita temukan bahwa sebagian besar tokoh masyhur, ilmuwan terkemuka, dan pengarang-pengarang hebat justru lahir dari latar belakang yang serba kekurangan. Mereka tidak lahir dengan segalanya tersedia di hadapan mereka. Kesuksesan mereka terbangun di atas dasar-dasar perjuangan, ketabahan, dan kerja keras tanpa henti.
Lihatlah Rasulullah Muhammad saw., seorang yatim yang hidupnya penuh dengan cobaan sejak dini. Ketika masih dalam kandungan ibunya, ayahnya sudah wafat, dan saat usia enam tahun, ibunya pun meninggal dunia. Tak lama setelah itu, pada usia delapan tahun, kakeknya yang mengasuhnya juga berpulang. Warisan dari sang ayah hanya berupa lima ekor unta—simbol sederhana dari kesulitan materi yang dialaminya sejak kecil. Namun, meskipun hidupnya dipenuhi ujian, Rasulullah tetap teguh menjalani kehidupan dengan penuh kesabaran.
Bahkan setelah beliau mulai mendakwahkan Islam, tantangan tidak berkurang. Pemuka-pemuka Quraisy sangat marah dan menolak keras ajaran yang beliau bawa. Nyawanya menjadi ancaman, hingga beliau dan para pengikutnya pernah diboikot selama tiga tahun, hidup dalam keterasingan dan kelaparan. Hingga akhirnya, beliau terpaksa hijrah dari kota Mekkah menuju Yastrib, yang kini kita kenal sebagai Madinah. Namun, di balik segala kesulitan tersebut, beliau tetaplah pribadi yang penuh kasih sayang dan kesantunan. Musuh-musuhnya pun tidak dapat memungkiri kemuliaan akhlaknya, dan perlahan-lahan, bangsa Arab yang tadinya terpecah belah bersatu di bawah panji Islam.
Tak hanya Rasulullah, kita juga dapat belajar dari kehidupan tokoh besar lainnya seperti Imam Syafi’i. Beliau hanyalah seorang anak yatim, namun kehausannya akan ilmu pengetahuan membuatnya mengarungi perjalanan panjang, mencari ilmu ke berbagai penjuru dunia Islam. Di Madinah, beliau berguru kepada Imam Malik, mempelajari fiqih ahlu hadits. Lalu, beliau pergi ke Irak untuk mendalami fiqih ahlu ra'yi bersama murid-murid Abu Hanifah. Tidak hanya puas dengan belajar, Imam Syafi’i akhirnya mencapai tingkat keilmuan yang membuat guru-gurunya mempercayakan kepadanya kemampuan untuk berijtihad sendiri. Dari sini lahirlah konsep usul fiqih yang menjadi fondasi dalam kajian fiqih hingga saat ini. Imam Syafi’i pun berhasil memadukan pandangan ahlu ra'yi dan ahlu hadits, menciptakan suatu pemahaman yang lebih komprehensif dan terstruktur.
Dari kisah para tokoh besar ini, kita belajar bahwa kesuksesan tidak datang dengan mudah. Mereka harus menghadapi berbagai kesulitan hidup yang kadang menghancurkan, tetapi justru dari situlah mereka menempa diri menjadi lebih kuat. Kepahitan hidup bukanlah akhir, melainkan cambuk untuk terus maju dan memperbaiki diri. Sama seperti pohon yang tumbuh besar, ia bermula dari sebuah biji kecil yang harus melalui proses panjang—ditanam, disiram, dan menghadapi berbagai rintangan alam—sebelum akhirnya menjadi pohon yang kokoh. Setiap kesulitan yang mereka hadapi adalah bagian dari proses itu, yang menjadikan mereka pribadi-pribadi yang tangguh dan sukses di kemudian hari.
Jadi, jangan pernah meremehkan ujian kehidupan. Kadang justru dari keterbatasan, manusia dapat melahirkan potensi terbaiknya.
COMMENTS