Oleh: Saiful Hadi Ulama-ulama tempoe dulu biarpun tidak bergelar Doktor atau Professor, ditengah keterbatasan sarana dan prasarana yang ada,...
Oleh: Saiful Hadi
Ulama-ulama tempoe dulu biarpun tidak bergelar Doktor atau Professor, ditengah keterbatasan sarana dan prasarana yang ada, mereka kaya akan karya yang sampai hari ini masih dapat kita baca, berkahnya ilmu mereka merupakan buah dari keiklasan dalam menghidupkan agama. Keseharian mereka tidak lepas dari aktivitas belajar mengajar maupun menyusun karya.
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani salah satu contohnya, karya tulis beliau mencapai seratus lima puluh buah dalam berbagai cabang ilmu. Diantara karyanya yang sangat fenomenal adalah Fathul Bari fi syarhi Sahihil Bukhari, kitab ini benar-benar luar biasa, baik isi maupun ketebalan jilidnya. Penulisan kitab tersebut berlangsung selama 25 tahun, dimulai dari awal tahun 817 H dan selesai pada tahun 842 H. Setelah usai dari penulisannya, beliau membuat acara walimah atau syukuran yang dihadiri oleh kaum muslim terkemuka dengan memakan biaya 500 Dinar pada masa itu.
Selain sukses di bidang akademis beliau juga seorang Nahkoda handal yang membawa bahtera rumah tangganya menuju ke pulau penuh bahagia. Beliau beristrikan seorang cendikia shalihah yang juga pakar dalam bidang Hadist, Uns (Anas) binti Abdul Karim namanya . Wanita yang lahir tahun 780 H ini memang bukanlah orang yang terkenal, namun ia hidup mendampingi orang terkenal.
Pernikahan Ibnu Hajar bersama istrinya dilangsungkan pada bulan sya'ban tahun 798 H. Saat itu usia Ibnu Hajar 25 tahun, sementra istrinya 18 tahun. Pernikahan ini membawa berkah yang luar biasa, rupanya Uns adalah wanita yang sangat menyukai pengetahuan dan beruntungnya beliau mendapatkan suami yang berilmu dan berwawasan luas. Dengan penuh kesabaran dan ketelitian Ibnu Hajar mengajarkan ilmu hadis kepada sang istri. Sampai pada akhirnya ia menjadi wanita ahli hadis, dan namanya pun mulai melambung dan dikenal masyarakat luas. Meski demikian, beliau tetap tidak lupa terhadap status dirinya sebagai seorang istri, dimana ia melayani suaminya sekaligus menjadi ibu rumah tangga yang membuat suasana selalu penuh dengan cinta. Ibnu hajar menjadikan rumah tangga sebagai sarana untuk menerpa jiwa, selain meningkatkan kualitas diri, juga berhasil melejitkan potensi istrinya.
Berkaca pada rumah tangga Ibnu Hajar, pernikahan itu bisa menjadi sarana untuk meraih bahagia dan melejitkan potensi diri. Pernikahan bukanlah penjara yang mengukung dan menghambat perkembangan karier. Demikian juga, meencintai bukan berarti mengekang dan mematikan potensi, melainkan untuk semakin mengispirasi. Budak menjadi raja, yang lemah menjadi kuat itu semua dari cinta.
Sehingga pesan moralnya adalah, menikahlah. Ibarat dua kaki, baru bisa melangkah karena ada kanan dan kiri, meniti jalan menggapai sakinah mawaddah dan rahmah.
COMMENTS